Deliciously Belitung

October 12, 2016

PANTIAW!
Asli, liat nama itu di daftar menu di salah satu kedai di kawasan Jalan Ahmad Yani, Belitung bikin mengernyitkan dahi. Apaan itu? Aku taunya Kwetiaw, sama kayak Kwetiaw gak sih? Apanya Kwetiauw? Eh mungkin ini Kwetiaw versi Belitung, bener gak sih? Mmmmm jadi apaan ya kira-kira?

Tahan dulu, ceritanya masih panjang untuk menuju ke Pantiaw tadi :v. Gimana ceritanya bisa menemukan makanan sejenis Pantiaw tadi? Here we go!

Me and husband at Pulau Kelayang (with Pulau Garuda behind us)

Aku dan suami sudah merencanakan perjalanan ke Belitung dari empat bulan lalu. Nikahnya sih sudah enam bulan, tapi honeymoon-nya baru sempet sekarang :D. Sebenarnya kami pengen jalan-jalan aja berhubung udah bisa cuti dan pengen mulai explore Indonesia berdua. Kenapa Belitung? Muncul begitu aja sih, pokoknya harus nyobain ke 10 destinasi prioritas yang dicanangkan Kementerian Pariwisata, mungkin karena dekat juga lokasinya. So, tanggal 6 - 9 Oktober 2016 kemarin kami memilih untuk pergi ke Belitung. So excited!

Pertama sampai di Green Tropical Village Hotel and Resort tempat kami menginap, hal pertama yang kami rasakan sudah pasti lapaaaarr! Eh tapi dengan suasana hotel yang asri dan hijau nampaknya sedikit mager (males gerak) :D.

Our rooms at Green Tropical Village Hotel & Resort, Belitung

View from our balcony at Green Tropical Village Hotel & Resort, Belitung

Another side of Green Tropical Village Hotel & Resort, Belitung

Jadi, setelah dapat motor sewaan, kami langsung bergerak menuju pusat kota di Tanjung Pandan, tepatnya di Jalan Sriwijaya. Sempet bertanya ke beberapa warga mengenai lokasi Mie Belitung. Akhirnya kami direkomendasikan ke Mie Atep yang konon sudah terkenal. Dari luar, bangunannya agak klasik cenderung biasa.

Mie Belitung Atep yang klasik

Suasana bagian dalam dari Mie Belitung Atep ini dipenuhi oleh foto-foto para seleb dan tokoh politik Indonesia yang pernah berkunjung ke sini. Mulai dari Tukul Arwana, Andy F. Noya, Rano Karno, sampai Ibu Megawati Soekarno Putri juga pernah kesini lohSo, tidak diragukan lagi kalau Mie Belitung Atep ini sudah terkenal dan legendaris.

Mie Belitung Atep's Atmosphere

Foto para seleb dan tokoh politik Indonesia at Mie Belitung Atep

Muka suami istri yang gak kalah klasik sesuai tempatnya :p at Mie Belitung Atep

How about the noodle?
Sebelum komentar tentang rasanya, this is how Mie Belitung Atep looks like:

Mie Belitung Atep

Sekilas dari penampilannya biasa saja. Mie dicampur dengan bahan-bahan lain dan diberi kuah. Nah, campurannya inilah yang gak biasa karena ada kentangnya! Baru sekali ini kayaknya nemu mie dicampur kentang. Kalo nasi sih sering, apalagi kentangnya kentang sambal ati. Enyaaaaakk! *oke lanjut* *intermezzo* Selain kentang, Mie Belitung ini ditambah dengan mentimun (nah ini juga aneh, kayak asinan jadinya), udang, tahu, kue berbahan terigu (lupa namanya), dan toge yang tersembunyi di dalam! Gak ketinggalan keripik emping andalannya.

Toge sebagai tambahan Mie Belitung Atep

Kuahnya berwarna coklat. Kirain spicy, eh ternyata rasanya manis. Buat aku yang urang Sunda asli (tapi ber-KTP Jawa :D), kayaknya kurang nikmat aja gitu kalau makan tanpa pedas dan asem. Alhasil aku tambahin cabe biar agak 'berasa'. Tapi gak tau kenapa masih kurang sedap. Berhubung laper, mau gak mau habis juga sih mie nya. Suami aku sih suka banget sama Mie Belitung Atep ini. Beda lidah ya kayaknya kita. Yang satu lidah Sunda, yang satunya lagi lidah Jawa yang suka manis :D. Kira-kira kalau ke Belitung lagi bakalan balik lagi ke sini? Boleh sih, tapi cuma nganter aja kayaknya (mending makan indomie :p). Harganya cocok lah, cuma Rp. 15.000.

Baca juga review Mie Belitung Atep dan cerita di Belitung lainnya di blog suamiku di sini yaa :)

Di Mie Belitung Atep ini juga dijual kepiting cilik. Tapi sudah diolah dengan cara dikeluarkan dagingnya, kemudian dimasak dengan telur dan bumbu lainnya.

Kepiting Cilik olahan Mie Belitung Atep

Rasanya lumayan enak dan berasa asinnya, cenderung keasinan dikit sih. Sekilas kayak perkedel, tapi tanpa kentang (bayangin aja sendiri :D).

Perut sudah kenyang, saatnya menjelajah kampung nelayan di Desa Binga. Jaraknya sekitar setengah jam bermotor dari Tanjung Pandan ke arah utara. Jadi, kampung nelayan ini adalah tempat bermukim para nelayan, juga terdapat tempat penjemuran ikan. Jangan heran kalau aroma amis ikan di kampung nelayan ini agak menyengat.

Kampung nelayan Desa Binga

Para nelayan membangun hamparan pijakan kayu di bibir pantai seluas beberapa meter ke depan. Nah, di atas kayu-kayu kecil ini lah biasanya nelayan menjemur ikan-ikan hasil tangkapan. Agak serem sih ketika berjalan di atasnya, soalnya semi permanen (walaupun katanya cukup kuat untuk berjalan di atasnya) dan dari kayu-kayu ini kami bisa melihat deburan air yang terbawa ombak.

Pijakan kayu di kampung nelayan Desa Binga

Berjalan di hamparan pijakan kayu di kampung nelayan Desa Binga

Di kampung nelayan ini kami bertemu dan berbincang bersama beberapa warga. Jodoh emang gak kemana, jauh-jauh ke Belitung, eh ketemunya sama urang Sunda juga. Ibu (lupa menanyakan namanya) ini berasal dari Sukabumi dan hijrah ke Belitung mengikuti suaminya pada tahun 80'an. Anak-anaknya bercerita, walaupun mereka tidak lahir di tanah Sunda, tapi fasih berbahasa Sunda. Itu karena bahasa Sunda tidak boleh dihilangkan di keluarga mereka. Saluuuttt!

Oia, hamparan kayu ini juga dapat berfungsi sebagai dermaga loh. Kami pun berbincang dengan pasangan paruh baya dari Sulawesi Selatan, asli suku Bugis. Jadi, selain urang Sunda, di kampung nelayan Desa Binga ini juga banyak orang Bugis. Kami menghampiri Bapak Taro dan Ibu Kenari yang sedang bersantai di 'dermaga' ini sambil menikmati sunset. Bapak Taro sempat beberapa kali berkelana. Dari Sulawesi Selatan sampai ke Palembang sebagai petani, dan akhirnya menjadi nelayan di Desa Binga, Belitung ini.

Suami dan Bapak Taro di kampung nelayan Desa Binga

Suami dan Ibu Kenari di kampung nelayan Desa Binga

Yang khas di sini adalah rumah panggungnya. Memang, di sini bentuk rumahnya mayoritas modern, tapi ada juga beberapa yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya.

Rumah panggung Desa Binga

Rumah panggung Desa Binga

Sunset di Desa Binga

Menjelang maghrib, kami bergegas untuk pulang ke penginapan. Malam hari, perut sudah mulai keroncongan lagi. Sebelum makan berat, kami melewati kopi yang konon legendaris juga. Namanya Kong Djie Coffee. Sebenarnya ada 14 kedai kopi dengan merek ini di seluruh Belitung, tapi kedai di Jalan Siburik Barat dekat bundaran kota ini adalah kedai aslinya, artinya sudah berdiri sejak tahun 1943.

Kong Djie Coffee Belitung

Sebenarnya aku bukan pecinta kopi. Jarang banget minum kopi. Jadi gak bisa membedakan kopi dari tiap daerah. Tapi rasanya harus mencoba kopi dari kedai ini. Alhasil aku pesan kopi susu dan suami hanya pesan coklat susu (takut gak bisa tidur katanya). Soal rasa gak ada bedanya sama kopi-kopi lain :D (kembali lagi, aku bukan pecinta kopi, harap maklum), tapi memang agak kecut sih. Kata bapak pemilik kedai, kopi yang disajikan di sini adalah kopi yang dibeli dari Jawa (campuran Robusta dan Arabica) karena Belitung bukan penghasil kopi. Oke, aku bener-bener gak ngerti masalah kopi. Fix.

Suasana Kong Djie Coffee

Coba tebak, mana kopi susu dan mana coklat susu :D at Kong Djie Coffee

Sayang sekali, kopi yang aku pesan masih tersisa banyak ketika hendak pergi ke tempat makan lain. Tapi aku gak mau juga nanggung resiko gak bisa tidur malam itu (dan ternyata memang baru bisa tidur jam 12 malam gara-gara kopi ini).

Dari kedai kopi, kami mampir di salah satu kedai makan lainnya yang terlihat sepi dekat tempat kami menginap. Awalnya ragu mau mampir dan bertanya-tanya kenapa kedai ini sepi sekali. Tapi, berhubung sudah lelah untuk muter-muter mencari tempat makan lagi, akhirnya kami singgah juga. Namanya Kedai Ishadi di Jalan Ahmad Yani, Belitung.

Suasana Kedai Ishadi Belitung

Sebenarnya tempatnya cukup luas dan enak dengan kursi kayunya. Tapi, kami agak kecewa karena beberapa menu yang ada di daftar menu tidak tersedia hari itu dikarenakan chef-nya ada keperluan lain. Alhasil aku memesan Pempek dan suami memesan Pantiaw. Ya, Pantiaw yang di awal bahasan blog ini di singgung!

Seperti apa rupanya?

Pantiaw Belitung Kedai Ishadi

Penampilannya biasa saja. Pucat. Hanya putih dan dikasih sedikit sayuran. Awalnya, kami hanya berkomentar, "Oh kayak Kwetiaw, cuma lebih tebel" dan tidak berharap banyak atas makanan ini. Tapi, setelah icip-icip kuahnya, waaaaahhh kok enak gurih rasa ikan gitu ya? Nah, ternyata yang bikin enak adalah kuahnya itu! Juaraaaaa! Aku jadi langsung teringat beef curry-nya Marugame Udon (artikelnya bisa dibaca lagi di sini yaa) karena memang mirip! Kuah Pantiaw ini terbuat dari daging ikan yang dihaluskan (lupa ikan apa pokoknya enak, gak amis). Pantiaw ini juga sehat, karena selain ikan yang kaya vitamin, juga ditambahi sayuran semacam bayam (tapi gak yakin sayur apa, lupa nanya ke mbak yang jual).

Detail Pantiaw Belitung

Pokoknya enak banget, padahal kami membeli makanan di Kedai Ishadi ini untuk dibawa pulang alias dibungkus. Jadi, makanan sudah dingin dan kondisi perut juga saat itu tidak terlalu lapar. Tapi gak tau kenapa ketika sudah makan Pantiaw ini, bawaannya pengen terus makan sampai habis :D.

Satu lagi yang membangkitkan selera makan malam itu, yakni Pempek yang aku pesan. Kebetulan aku sudah pernah makan Pempek di tempat aslinya: Palembang. Nah, sama seperti Pantiaw, aku tidak berharap banyak atas rasa Pempek Kedai Ishadi ini. Pempek dengan rasa ikannya terasa aja sudah syukur banget (karena banyak juga Pempek abal-abal dengan rasa ikan minim). Bentuknya ternyata cilik-cilik. Satu porsi seharga Rp. 15.000 ini terdiri dari tiga pempek cilik lenjer dan tiga pempek cilik kapal selam. Murah juga. Rasanya? Ternyata enaaaaaakkk!! Asli enaaaakkk!! Lebih enak dari Pempek asli Palembang loh! Sayangnya gak ada pempek adaan dan pempek kulit kesukaan aku. Pempek kapal selam suka sih, nah pempek lenjer justru jarang aku beli karena biasanya gak berasa ikannya. Tapi pempek lenjer di Kedai Ishadi ini kerasa banget ikannya! Saking sukanya, kami makan tiga porsi pempek dua hari berturut-turut :D. Maaf foto pempeknya gak sempet difoto :(. Sebenarnya kami ke Kedai Ishadi ini tiga kali dari empat hari berada di Belitung, tapi di hari terakhir kami kecewa karena pempeknya tak tersedia. Padahal kami berniat membeli Pempek mentah untuk dibawa pulang ke Jakarta. Maybe next time if we got a chance to go to Belitung again, Kedai Ishadi will be our first destination. Demi Pempek!

Hari pertama pun ditutup dengan perut gembiraaaaaa :)

Hari kedua, walaupun tidur larut malam gara-gara kopi, kami sangat bersemangat untuk pergi ke Gantung dan Manggar. Walaupun kami tau, menuju Gantung dari Tanjung Pandan itu sangat jauh dengan jarak + 70 Km! Kami bermotor dari ujung barat Belitung sampai ujung timur Belitung. Perjalanan yang super sekali sampai sempat bete sih karena berasa lama dan baru sampai setelah 1,5 jam bermotor. Untung pemandangannya bagus, jadi betenya agak sedikit terobati.

Tidak banyak tempat yang kami kunjungi di Belitung Timur. Di Gantung, kami hanya mengunjungi Replika Sekolah Laskar Pelangi/SD Muhammadiyah Gantong dan Museum Kata Andrea Hirata.

Replika Sekolah Laskar Pelangi/SD Muhammadiyah Gantong

Shesar at Replika Sekolah Laskar Pelangi/SD Muhammadiyah Gantong

Di replika SD Muhammadiyah Gantong yang berada di atas pasir putih ini, kami hanya berfoto-foto. Sekilas biasa saja, tapi karena film Laskar Pelangi memang booming beberapa tahun lalu, jadinya mesti banget ke sini dan menikmati suasana SD jadul ini (walaupun replika). Ruangan terdiri dari deretan bangku kayu, papan tulis hitam, lemari buku, dan foto-foto para pahlawan yang dipajang, seperti RA. Kartini, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan lain-lain.

Suasana ruangan kelas replika SD Muhammadiyah Gantong

Ketika kami sedang asyik memasuki ruangan ke dua (hanya ada tiga ruangan kelas di replika SD ini), tiba-tiba datang tiga orang anak asli Gantung. Mereka anak-anak kelas empat dan dua di SDN 1 Gantung, tidak jauh dari lokasi replika ini. Mereka memang selalu main ke sini setiap pulang sekolah. Mereka pun berbincang dan bercanda bersama suami saya tentang bermacam hal.

Shesar dan anak-anak Gantung

Tidak jauh dari replika SD Muhammadiyah Gantong, terdapat Museum Kata Andrea Hirata yang baru dibangun setelah adanya film Laskar Pelangi. Nampak luar sudah terlihat colourful!

Museum Kata Andrea Hirata

Museum Kata Andrea Hirata

Eh ternyata bagian dalamnya lebih seru!
Museum Kata ini konon merupakan museum literasi pertama di Indonesia. Overall, aku cuma bisa menikmati suasana dengan dekorasi yang lucu, not with the content :(. Semua kata-kata yang tertera di dinding hampir semua berbahasa Inggris (karena Andrea Hirata kan sempat belajar di luar negeri juga mungkin yaa dan agar wisatawan mancanegara dapat lebih mudah memahami kata-kata yang ada). Isinya ada quote-quote beberapa tokoh (yang jujur aku gak tau siapa), juga mungkin dikombinasikan dengan kata-kata dari Andre Hirata nya sendiri. Aku yang notabene tidak terlalu suka sastra, tidak terlalu menikmati kata-kata dan artikel yang disajikan di museum ini. Tapi aku acungin jempol buat dekorasinya (yang instagrammable banget :D)!

Dekorasi dalam Museum Kata Andrea Hirata

Karya-karya Andrea Hirata

Salah satu dekorasi Museum Kata Andrea Hirata

Salah satu sudut Museum Kata Andrea Hirata

Di bagian paling belakang dari Museum ini terdapat Sekolah Laskar Pelangi (lagi), mirip replika SD Muhammadiyah Gantong, tapi lebih kecil. Sekolah ini nampaknya dipakai untuk mengajar anak-anak setempat, karena terdapat tulisan "Sekolah Gratis Andrea Hirata". Kata mbak-mbak penjaga museum, Bang Andrea selalu mengajar anak-anak ketika pulang ke Gantung. Kini beliau tinggal di Jakarta.

Sekolah Laskar Pelangi di Museum Kata Andrea Hirata

Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Tidak usah khawatir, di museum ini juga ada warkop nya loh! Tepat di bagian agak belakang, terdapat Warung Kupi Kuli. Yang tersaji di sini hanya kopi, jadinya kami tidak pesan. Dekorasinya dipadukan dengan suasana dapur jadul dan peralatan elektronik yang gak kalah lawasnya.

Warung Kupi Kuli

Warung Kupi Kuli

Jangan sedih, kalau mau makan yang sedikit berat, tempatnya ada di samping museum ini, yakni di Warung Kupi Kuli 2. Lagi-lagi, kami memesan Mie Belitung karena tidak ada pilihan lain (hanya Mie Belitung dan mie instan). Penasaran juga sih apa bedanya Mie Belitung di Warung Kupi Kuli 2 dengan Mie Belitung Atep.

Mie Belitung Warung Kupi Kuli

Daaaaannn ternyataaaaa rasanyaaaa.....

Gak lebih sedap dari Mie Belitung Atep :(. Suami aku sih suka-suka aja, tapi aku tetep kurang suka. Malah nyesel kenapa gak pesen mie instan aja. Tidak tersedia sambal untuk penambah rasa manis mie ini, yang ada malah gula (duh!). Berhubung lapar, jadinya terpaksa dimakan juga :D. Bedanya dengan Mie Belitung Atep adalah di sini tidak memakai kue berbahan terigu, juga terdapat setengah potong telur rebus. Sebagai topping, Mie Belitung Warung Kopi Kuli 2 ini juga tidak menggunakan keripik emping, melainkan kerupuk putih biasa.

Warung Kupi Kuli 2

Dekorasi Warung Kupi Kuli 2

Suka juga dengan dekorasi Warung Kopi Kuli 2 ini. Setidaknya ada nilai positifnya setelah kecewa sama mie nya.

Suasana dapur Warung Kupi Kuli 2

Warung Kupi Kuli 2 ini juga multifungsi loh! Selain jual minuman dan makanan, juga tersedia souvenir khas Belitung, dari gantungan kunci, pin, sampai kerajinan gerabah.

Pernak-pernik di Warung Kupi Kuli 2

Kerajinan gerabah di Warung Kupi Kuli 2

Di sini juga dijual Kopi Belitong (padahal kata pemilik Kong Djie Coffee yang udah dibahas di atas, tidak ada kopi asli Belitung) dan lada khas Belitung.

Kopi Belitong

Lada Belitung

Hari ketiga, saatnya explore pantai!
Hanya dua tempat yang kami kunjungi: Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang. Pantai Tanjung Tinggi merupakan tempat shooting film Laskar Pelangi. Pada siang hari ketika kami ke sini, suasana cukup adem dan tidak terlalu ramai. Kata salah satu pemilik warung di area pantai ini, pengunjung biasanya ramai menjelang sore.

Tugu The Film Site of Laskar Pelangi

Pantai Tanjung Tinggi dengan giant stone-nya

Takjub sekali melihat batu granit yang besarnya kebangetan itu!! Gak habis pikir kok bisa ada batu sebesar itu di sini. Konon katanya sih batu-batu tersebut bisa muncul di permukaan tanah karena proses tektonik.

Sayang langit tak terlalu biru, cenderung cloudy dan sedikit mendung. Walaupun begitu, kami tetap menikmati suasana pantai yang sepi dan berfoto di antara bebatuan granit itu.

Pantai Tanjung Tinggi dengan giant stone-nya

Tujuan berikutnya yakni Pantai Tanjung Kelayang. Ini nih salah satu dari 10 destinasi prioritas pariwisata Indonesia yang sudah disebutkan di atas.

Pantai Tanjung Kelayang

Sampai di sana, kami memilih makan terlebih dahulu sambil menunggu partner yang siapa tau berkenan naik perahu bareng ke pulau-pulau (biar lebih murah :p). Akhirnya kami mencoba Ikan Bakar Jebung. Ternyata ukuran ikannya besar dengan berat 1 Kg lebih.

Ikan Jebung Jumbo at Pantai Tanjung Kelayang

Rasanya enak, spicy. Bumbu kuningnya enak, daging ikannya juga lumayan tebal. Kami hanya bisa menghabiskan setengah porsinya, sisanya kami bawa pulang untuk makan malam.

Sudah jam setengah tiga sore, tapi kami tak kunjung dapat partner naik perahu. Mau gak mau kami menyewa satu perahu untuk berdua. Kami hanya memilih berperahu ke Pulau Lengkuas, Pulau Batu Berlayar dan Pulau Kelayang.

Mercusuar Pulau Lengkuas

View from the top of mercusuar Pulau Lengkuas

Ada yang takut ketinggian dan gak berani berdiri di puncak mercusuar :D

Jika Pulau Lengkuas khas dengan mercusuarnya, maka Pulau Kelayang khas dengan guanya (ini seru!). Sedangkan di Pulau Batu Berlayar kami hanya berfoto-foto sejenak di bebatuan di tengah laut, dekat pulau tersebut.

Gua di Pulau Kelayang

Batu-batu besar di Pulau Kelayang

Trip bersama suami ke Belitung sangat berkesan. Seru, walaupun hari keempat kami hanya berdiam diri di penginapan karena hujan terus mengguyur Tanjung Pandan dari pagi. Untungnya itu hari terakhir kami di Belitung dan tempat-tempat yang ada di itinerary kami sudah terjelajah :D. See you next time Belitung!


#juwisfoodystuff
#PesonaIndonesia
#WonderfulIndonesia



Watch BELITUNG TRIP on my YouTube channel :



You Might Also Like

0 comments